![]() |
Penampilan Candi Boto |
Perjalanan Kehidupan telah membawa saya ke sebuah tempat yang jarang disebut dalam brosur wisata. Sebuah desa bernama Candirejo, di wilayah Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Tujuan saya bukan taman hiburan atau destinasi populer, melainkan sebuah situs kuno yang tampak sederhana, namun sarat makna: Candi Boto. Nama ini mungkin belum banyak dikenal, tapi justru kesederhanaan dan kesepiannya itulah yang membuat saya tertarik.
Perjalanan dari rumah menuju lokasi hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit. Tidak ada gerbang besar, loket tiket, ataupun petunjuk mencolok seperti tempat wisata pada umumnya. Sampai di sana saya hanya disambut area terbuka di tepi jalan yang sebelah selatan dikelilingi oleh hamparan sawah hijau. Di tengahnya berdiri sebuah struktur candi dari batu bata merah, sebagian telah dimakan waktu dan alam.
Ada hal yang menarik saat saya pertama datang, akar pohon besar yang melingkar di dasar bangunan. Akar ini berasal dari pohon tua di sisi timur candi. Urat-urat kayunya menjalar kuat ke dinding bata, seperti memeluk erat bangunan tersebut. Seperti terdapat hubungan eksistensi antara alam dan dan sejarah untuk saling menyelamatkan serta melindungi diri dari kepunahan. Saat saya meraba akar itu sesuatu yang berbeda saya rasakan, tekstur keras dan dingin yang seperti menyimpan cerita dari masa lalu.
![]() |
Salah satu sudut Candi Boto |
Tidak jauh dari lokasi utama, saya menemukan sebuah makam tua. Letaknya hanya beberapa langkah dari bangunan candi. Makamnya sangat sederhana, terdiri dari gundukan tanah yang dipagari batu bata tanpa tanda atau nama. Sebuah batu nisan kecil berdiri tanpa identitas, dikelilingi batu rapi yang nyaris menyembunyikannya.
Kebetulan, seorang warga setempat melintas. Namanya Pak Darto. Saya pun menanyakan soal makam tersebut. “Itu memang makam, Mas,” jawabnya perlahan. “Katanya itu makam sesepuh desa. Tidak ada yang tahu pasti kubur siapa, tapi menurut cerita yang beredar menyatakan itu merupakan kuburan orang yang masih berkaitan dengan bangunan candi tersebut.
Dari Cerita beberapa sumber, Candi Boto didirikan oleh raja pertama Kerajaan Medang, Mpu Sindok sekitar tahun 937 Masehi. Nama lain dari candi ini adalah Candi Lor dan dibangun sebagai simbol kemenangan sang raja melawan pasukan dari Wangsa Syailendra.
Saya melangkah pelan mengitari bangunan. Aura kekuatan candi terpancar jelas meski ukuran mini untuk sebuah candi. Pondasinya masih sangat kokoh untuk sebuah bangunan yang tidak terbuat dari semen tapi ada yang terkikis beberapa bagian. Tidak ada relief atau patung yang tersisa, namun suasananya begitu khas: tenang, mistis, dan damai. Dengan adanya sebuah makam seakan ingin meneguhkan bahwa keberadaan tempat sungguh dijaga sesuatu yang lebih dari sekadar batu bata.
Saya berhenti sejenak untuk duduk di sebuah batu bata datar yang terletak di dekat candi. Angin di kota Bayu meniupkan aroma tanah dan rumput basah membawa nuansa kelembutan. Di kejauhan, suara serangga terdengar bersahutan. Akar-akar pohon terus menjalar di sekitar candi, seperti menjaga warisan ini tetap dalam pelukan bumi. Sementara itu, makam yang diam berdiri di sana, tak berkata apa-apa, namun seperti ikut mengawasi suasana sunyi tempat ini.
Candi Boto bukanlah tujuan wisata konvensional. Tak ada keramaian, tak ada papan penjelas sejarah, bahkan tanpa fasilitas umum. Tapi justru kesederhanaan inilah yang membuatnya istimewa. Ia bukan tempat untuk berwisata, tapi merupakan ruang untuk merenung. Tempat yang bisa menjelaskan kepada kita sesungguhnya waktu tak selalu berlalu melalui jam dan kalender tapi juga lewat akar, batu dan tanah.
Sebelum pulang, saya berdiri sejenak mengamati akar yang membelit candi. Di sana, saya merasa kecil namun damai. Sebuah kesadaran saya lahir dari tempat yang sederhana ini bahwa sejarah tak harus perkasa untuk menjadi bermakna. Sejarah akan selalu hidup, bukan oleh orang tapi dengan tanah, keheningan dan makna suatu hal yang tetap berdiri meski dunia terus berubah.
10 Komentar
Wah aku jadi pengen berkunjung ke candi boto bersama teman atau keluarga juga kak, pengen merasakan ketenangan disana sembari sejenak merenungi makna kehidupan hihihi
BalasHapusAyuk saja Kak, siap jadi guidenya
HapusMenarik sekali pembahasan candinya mas. Andai anak zaman now banyak mengenal sejarah, pasti lebih keren lagi ya.. Dunia digital sekarang membuat anak-anak lebih banyak ke dunia digital dibandingkan dunia nyata sejarah
BalasHapusAda sih sebagian yang peduli, terutama komunitas di nganjuk
HapusMenarik dengan akar yg menyelimuti candi boto ini, bisa terlihat jelas akar2 yg besarnya ya. Tapi agak ngeri tumbang juga liat foto pertama nampak miring banget ya pohonnya
BalasHapusmiring itu menuju sinar mentari Kak, dan masih kokoh untuk pohon berusia ratusan tahun
HapusPas baca namanya candi Boto, aku mikir... Eh dimana pulak ini. Gak terkenal kayaknya. Pas baca bagian nama lainnya adalah candi Lor, eh kok kayaknya gak asing sama namanya. Sering dengar di pelajaran sejarah waktu SMA ini. Bagian yang sering masuk di soal ujian. Hehehe
BalasHapusya memang tidak terkenal dan tempatnya juga sepi, hehe...
HapusCandi Boto ini ternyata memiliki banyak sejarah, namun sangat disayangkan mata pelajaran Sejarah di sekolah les nya berkurang padahal ini penting sekali supaya siswa/i mengenal sejarah di Indonesia.
BalasHapusSejarah kota angin, nganjuk mbk
Hapus